Jumat, 23 Januari 2009

Bait bait puisi sederhana yang pernah ada

# Teman & Kawan #

Pahamilah kelemahan mereka
untuk menunjukan kekuatannya

Rasakanlah ketakutan mereka
untuk membangkitkan keyakinannya

Kenalilah ketidak mampuannya
untuk memerikan padanya kesempatan



# Jakarta #

Semua harga Terus melambung tinggi
kecuali.....
harga diri dan hati nurani

Semua jalan.... Padat merayap..
kecuali...
Jalan menuju akherat

Senin, 05 Januari 2009

Konsep dasar Kemandirian Bangsa

Persoalan-persoalan mendasar yang berkait dengan kemandirian sebuah bangsa biasanya lebih banyak bersumber dari diri sendiri sebagai bangsa yang biasanya berkisar pada persoalan kualitas sumberdaya manusia, karakter pemimpin yang bermental tempe. Ketikdakberdayaan ekonomi rakyat dll. Memang kita memaklumi bahwa ada juga faktor eksternal yang mempengaruhinya, misalnya konstelasi politik dan ekonomi internasional yang memang belum adil. Ada Amerika Serikat yang kini berlaku sebagai hegemon tunggal. Ada gap yang selama ini belum terjembatani antara negara-negara kaya dan miskin. Ada trend globalisasi di segenap ranah kehidupan yang terus menerus menerpa.

Persoalan-persoalan mendasar yang berkait dengan kemandirian sebuah bangsa biasanya lebih banyak bersumber dari diri sendiri sebagai bangsa yang biasanya berkisar pada persoalan kualitas sumberdaya manusia, karakter pemimpin yang bermental tempe. Ketikdakberdayaan ekonomi rakyat dll. Memang kita memaklumi bahwa ada juga faktor eksternal yang mempengaruhinya, misalnya konstelasi politik dan ekonomi internasional yang memang belum adil. Ada Amerika Serikat yang kini berlaku sebagai hegemon tunggal. Ada gap yang selama ini belum terjembatani antara negara-negara kaya dan miskin. Ada trend globalisasi di segenap ranah kehidupan yang terus menerus menerpa.



Kemandirian sebuah bangsa bisa diukur dari 3 (tiga) aspek. Pertama, kemampuannya dalam menetapkan ideologi kebangsaan secara lugas dan tegas. Lugas sehingga bisa dipahami bangsa-bangsa lain bahwa kita memiliki, meyakini dan menerapkan pandangan atau falsafah hidup kita sendiri. Tegas dalam arti tidak terpengaruh berbagai tantangan dan pendiktean ideologi bangsa lain yang tidak sejalan dengan milik kita.Ideologi yang diyakini bersama secara mantap bisa mencegah bangsa ini terombang-ambing –tidak berdikari (berdiri di atas kaki sendiri)— dalam pergulatan antar-bangsa yang semakin keras ini. Kelugasan dan ketegasan kita untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah keharusan, apabila yang kita tuju adalah kemandirian bangsa yang hakiki


Kedua, kemandirian bangsa juga bisa dilihat dari kebolehannya dalam merumuskan, memutuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan negara tanpa campur tangan pihak-pihak lain secara berlebihanKetiga, kemandirian bangsa tentu saja juga bisa diukur dari kemampuannya dalam menjaga dan mempraktikkan kedaulatan atas wilayah, penduduk dan segenap sumberdaya yang ada di dalamnya. Kemampuan negara dalam menjaga keutuhan wilayah dari ancaman eksternal maupun ancaman separatisme internal adalah kebutuhan esensial dalam kemandirian bangsa. Kemampuan negara dalam menjaga aset atau sumberdaya yang ada di dalamnya juga merupakan keharusan.


Untuk memandirikan bangsa ni dan kemudian mengatasi berbagai persoalannya, bangsa itu sendirilah yang harus bertanggung jawab. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh bangsa tersebut. Pertama, memperkenalkan semangat kebangsaan yang berbasis kemandirian kepada seluruh masyarakatnya dengan berbagai macam cara dan media yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan memahaminya. Yang paling mudah bisa dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal maupun nonforma yang merupakan avant-garde dalam proses pembinaan bangsa secara keseluruhan. Nasionalisme yang sempit dengan demikian perlu diperluas menjadi nasionalisme dengan hakikat kemandirian di segenap bidang: politik, ekonomi dan sosio-kultural. Selama ini, seorang nasionalis diukur dari kemampuannya dalam menyatukan bangsa, tetapi yang perlu ditambahkan di sini adalah kemampuannya dalam memandirikan bangsa.


Kedua, di bidang ekonomi pemerintah dan para pelaku usaha perlu lebih menegaskan lagi pemihakannya pada kemajuan ekonomi rakyat. Bukan malah sebaliknya pemihakan pada segelintir konglomerat yang berusaha mematikan pasar rakyat untuk kepentingan ysahanya. Kemajuan sektor-sektor ekonomi rakyat inilah yang akan sangat menentukan proses kemandirian sebuah bangsa. Potensi ekonomi rakyat Indonesia sesungguhnya sangat tinggi. Kekenyalannya sudah terbukti bahkan di masa-masa krisis ekonomi dan moneter melanda negeri ini. Sehingga, tidak ada pemihakan lain selain kepada ekonomi sektor ini.


Ketiga, Pemerintah perlu membangun suasa kondusif agar masyarakat turut berpikir dan berperan serta melalui program program komunitas, organisasi kemasyarakatan agar muncul keontentikan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah juga perlu mendorong agar mereka mempercepat langkahnya sebagai organisasi moderen yang mementingkan aspek-aspek profesionalisme, fungsionalisme dan kemandirian dalam berbagai program dan amal usahanya. Karena aspek-aspek itulah yang akan bisa menjadi motor penggerak dan persebaran gerakan organisasi kemasyarakatan

Jumat, 02 Januari 2009

Ada Apa Antara Yahudi Dengan Kita

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh akan kalian dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang yang mempersekutukan Allah (musyrik).” (QS. al-Maa’idah [5]: 82).

Yahudi dan orang-orang musyrik. Dua kelompok inilah musuh Islam yang paling keras dalam berupaya untuk menghancurkan umat Islam. Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Secara umum, kedua kelompok inilah golongan manusia yang paling besar dalam memusuhi Islam dan kaum muslimin dan paling banyak berusaha mendatangkan bahaya kepada mereka. Hal itu karena sedemikian keras kebencian orang-orang itu kepada mereka (umat Islam) yang dilatar belakangi oleh sikap melampaui batas, kedengkian, penentangan, dan pengingkaran (mereka kepada kebenaran).” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 220).

Demikian pula orang-orang Nasrani, mereka juga menginginkan agar umat Islam mengikuti jejak kesesatan mereka. Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah merasa puas/ridha kepada kalian sampai kalian mau mengikuti millah (ajaran agama) mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 120).

Seperti itulah tekad jahat musuh-musuh Islam yang sangat bernafsu untuk mencabut aqidah Islam yang suci nan mulia dari dada-dada kaum muslimin. Tak henti-hentinya mereka menyerang kaum muslimin dengan pemikiran dan kekuatan mereka, serta bekerja keras -siang dan malam- agar umat yang terbaik ini menjadi teman setia mereka untuk bersama-sama masuk ke jurang neraka. Allah ta’ala menggambarkan tentang permusuhan yang dikobarkan oleh orang-orang musyrik kepada umat ini dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka senantiasa memerangi kalian agar kalian mau murtad dari agama kalian kalau saja mereka mampu melakukannya. Barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir, maka mereka itulah orang yang terhapus amal-amal mereka di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 217).

Itulah upaya mereka! Bukanlah tujuan mereka semata-mata untuk membunuh kaum muslimin atau merampas harta-harta mereka. Akan tetapi sesungguhnya maksud mereka adalah agar umat Islam ini murtad dari agamanya, sehingga mereka akan ikut-ikutan menjadi kafir sesudah -sebelumnya- mereka beriman. Dan pada akhirnya mereka akan ikut terseret ke dalam neraka. Inilah karakter orang-orang kafir secara umum. Tidak henti-hentinya mereka memerangi umat Islam. Dan yang paling menonjol dalam hal itu adalah ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani. Mereka kerahkan kekuatan mereka untuk memurtadkan kaum muslimin dengan mendirikan berbagai yayasan, mengirimkan para misionaris, menyebarkan para dokter serta membangun sekolah-sekolah dalam rangka menjaring umat manusia masuk ke dalam agama mereka. Akan tetapi, ketahuilah bahwasanya Allah enggan memenuhi hasrat mereka -untuk memadamkan cahaya-Nya- maka Allah akan tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir itu tidak suka (disadur dari Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 81-82).

Oleh sebab itu tidak semestinya, bahkan haram hukumnya bagi umat Islam memberikan loyalitas mereka kepada musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan kamu temukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir justru berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya, meskipun orang-orang itu adalah ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau kerabat mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah ditetapkan Allah keimanan di dalam hati mereka, dan Allah mengokohkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, dan Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah sesungguhnya golongan Alah sajalah yang benar-benar mendapatkan kemenangan.” (QS. al-Mujadilah [58]: 22).

Berdasarkan ayat yang mulia ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan dalam kitabnya yang sangat masyhur Tsalatsatul Ushul, “Barangsiapa yang menaati rasul dan mentauhidkan Allah, maka tidak boleh baginya memberikan loyalitas (pembelaan dan kecintaan) kepada orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya, meskipun orang itu adalah kerabat yang paling dekat.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah terdapat suri teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak dengan jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 4). Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah menegaskan, “Maka sudah seharusnya kaum muslimin membenci dan memusuhi musuh-musuh Allah, dan di sisi lain menyayangi serta mencintai orang-orang yang beriman (umat Islam).” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 12).

Maka sudah sewajarnya -bahkan wajib- bagi kaum muslimin untuk membantu saudaranya yang tertindas dan diperangi oleh musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya menurut kemampuan mereka masing-masing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kecintaan, berkasih sayang, dan hubungan perasaan di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang kesakitan, maka semua anggota tubuh yang lain pun akan saling membantunya dengan merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari [6011] dan Muslim [2586], dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ini lafazh Muslim).

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa seorang mukmin akan turut merasa susah dan sedih karena sesuatu yang membuat susah dan sedih saudaranya sesama mukmin yang lain.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 163).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Mukmin yang satu dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan, satu sama lain saling memperkuat.” (HR. Bukhari [481] dan Muslim [2585] dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu). Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan keimanan dari orang-orang yang tidak menyukai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang dia inginkan untuk dirinya. Beliau bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga dia menyukai kebaikan bagi saudaranya seperti apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari [13] dan Muslim [45] dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa seorang mukmin akan turut merasa senang dengan sesuatu yang membuat senang saudaranya sesama mukmin yang lain dan dia juga menginginkan kebaikan bagi saudaranya sesama mukmin sebagaimana dia menginginkan hal itu bagi dirinya sendiri. Dan ini semua muncul akibat bersihnya hati dari tipu daya, kedengkian, dan hasad.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 163).

Sesungguhnya bumi Palestina merupakan bagian dari tanah air kaum muslimin. Bahkan seluruh muka bumi ini pada hakikatnya adalah tanah air umat Islam, bukan tempat berpijak bagi orang-orang kafir dan mempersekutukan Rabb mereka! Kaum muslimin yang berada di sana adalah saudara-saudara kita seaqidah. Maka musibah yang menimpa mereka akibat kekejian Yahudi merupakan musibah yang menimpa kita pula. Doa dan bantuan kita untuk mereka adalah wujud persaudaraan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Yakinlah, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kemenangan kepada siapa saja yang benar-benar memperjuangkan tegaknya agama yang hanif ini. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.” (QS. al-Hajj [22]: 40). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika Allah menolong kalian, maka niscaya tidak akan ada yang dapat mengalahkan kalian. Namun, jika Allah membiarkan kalian (tidak memberikan pertolongan), maka siapakah lagi yang dapat menolong kalian setelah-Nya. Maka kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin itu bertawakal.” (QS. Ali Imran [3]: 160).

Oleh sebab itu wajib bagi kita untuk menanggalkan segala pengaruh buruk agama kekafiran dari tubuh umat Islam. Karena hanya dengan keimanan yang benar kepada Allah dan Rasul-Nya, kaum muslimin akan mendapatkan kemenangan. Bukan malah dengan meniru-niru penyimpangan mereka dengan merayakan tahun baru dan berhura-hura, meninggalkan majelis ilmu, meninggalkan para ulama, beramal tanpa ilmu, tidak tunduk kepada kebenaran, dan hanyut dalam urusan dunia sehingga melupakan akhirat. Ya Allah, hancurkanlah musuh-musuhMu dan tolonglah hamba-hambaMu, sesungguhnya Engkau Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Hanya kepada Mu-lah kami memohon taufik, pertolongan, dan kekuatan.

Sabtu, 22 November 2008

Mengapa dan Untuk Apa Berpolitik

Ada sebuah diskusi panel yang cukup menarik di Yogyakarta. Diskusi itu membahas tentang partai politik dan masalah demokrasi di Indonesia. Diskusi itu meriah berkat kedatangan sejumlah pakar yang handal di bidang masing-masing. Ketika berbicara tentang esensi politik, sejumlah peserta diskusi mengutip pendapat pakar politik barat. Namanya Harold Lasswell. Menurut pakar ini, politik adalah kegiatan masyarakat yang berkisar pada masalah-masalah “siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana” (who gets what, when and how).

Pengertian cakupan politik seperti itu memang tidak salah. Dalam kenyataan, persoalan politik selalu menyangkut siapa yang sedang mengejar apa. Kemudian juga kapan dan bagaimana yang dikejar itu dapat diperoleh. Sebagai misal, siapa saja yang ingin menjadi ketua partai? Kemudian kapan dan bagaimana kursi ketua partai itu dapat diraih? Dengan cara yang wajar atau tidak? Timing nya tepat atau tidak? Dan sebagainya.

Peristiwa politik memang sarat dengan hal-hal seperti di atas. Siapa yang ingin menjadi anggota parlemen, gubernur, bupati, menteri, presiden, dsb., selalu menarik untuk dianalisis. Kemudian kelompok-kelompok politik mana saja yang mendukung siapa tersebut. Lantas masalah kapan dan bagaimana selalu merupakan masalah-masalah menarik yang menyertainya. Akan tetapi dalam diskusi yang saya ikuti itu beberapa peserta mengajukan kritik pada konseptualisasi politik seperti dikemukakan oleh Pak Lasswell di atas. Mereka mengatakan bahwa ada dimensi penting yang hilang dalam konsep itu.

Salah seorang peserta mengatakan bahwa persoalan politik itu seharusnya berbunyi who gets what, when, how and why. Why atau mengapa, itu sangat penting sekali. Dan ini justru hilang. Why menanyakan motivasi atau niat dan sekaligus tujuan, mengapa seseorang atau sekelompok orang berkiprah dalam bidang politik. Mengapa ingin menjadi anggota DPR atau gubernur? Karena menginginkan sekedar perolehan keduniaan seperti gaji besar, status sosial yang tinggi dan mungkin juga kekuasaan atau karena tujuan yang lebih tinggi? Bila kita lihat ada pejabat yang melakukan korupsi atau sebagian politisi kita menghalalkan semua cara demi mencapai tujuan mereka, segera timbul pertanyaan yakni: apa sebab mereka tega melakukan perbuatan yang destruktif? Masih punyakah mereka dimensi akhlak atau dimensi moral?

Pernahkah mereka bertanya mengapa dan untuk apa mereka berpolitik itu? Why itulah barangkali yang hilang dari perpolitikan manusia modern. Karena pertanyaan why sudah ditenggelamkan, tidak aneh bila banyak para politisi dan pejabat kita yang kemudian kehilangan arah. Mengapa mereka berkampanye habis-habisan, mengapa mereka mengeluarkan biaya besar-besaran dan mengapa mereka sampai kadangkala berkhianat, bermain fitnah, dsb., tidak pernah dipertanyakan secara sungguh-sungguh. Why dalam bermain politik memang perlu dijawab secara jujur. Supaya politik kita benar-benar punya acuan etika dan moral yang kuat. Menurut Harold Lasswell, politik adalah kegiatan masyarakat yang berkisar pada masalah-masalah “siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana” (who gets what, when and how).
Pengertian cakupan politik seperti itu memang tidak salah. Namun ada dimensi penting yang hilang dalam konsep itu.

Persoalan politik itu seharusnya berbunyi who gets what, when, how and why. Why atau mengapa, itu sangat penting sekali. Dan factor ini justru dilupakan atau malah dihilangkan.Why menanyakan motivasi atau niat dan sekaligus tujuan, mengapa seseorang atau sekelompok orang berkiprah dalam bidang politik. Mengapa ingin menjadi anggota DPR atau gubernur? Karena menginginkan sekedar perolehan keduniaan seperti gaji besar, status sosial yang tinggi dan mungkin juga kekuasaan atau karena tujuan yang lebih tinggi?

Kalau pertanyaan why sudah ditenggelamkan, maka yang akan terjadi adalah para politisi dan pejabat kita yang kemudian kehilangan arah. Mengapa mereka berkampanye habis-habisan, mengapa mereka mengeluarkan biaya besar-besaran dan mengapa mereka sampai kadangkala berkhianat, bermain fitnah, dsb., tidak pernah dipertanyakan secara sungguh-sungguh. Why dalam bermain politik memang perlu dijawab secara jujur. Supaya politik kita benar-benar punya acuan etika dan moral yang kuat.